DOU DONGGO
Indonesia
terkenal dengan bangsa yang memiliki ragam kebudayaan. Setiap wilayah
ketatanegaraan (Desa/Lurah, Kecamatan, Kabupaten/Kota dan Provinsi) memiliki
lebih dari satu suku yang mendiaminya. Dalam satu suku pun terdapat berbagai
budaya yang dianut oleh masyarakat setempat. Misalnya suku Mbojo di Bima, Nusa
Tenggara Barat. Dalam suku Mbojo terdapat berbagai budaya yang berbeda, seperti
dalam budaya sistem mata pencaharian (salah satu unsur universals cultural),
sistem mata pencaharian masyarakat suku Mbojo yang mendiami wilayah pegunungan
dan pedalaman, berbeda dengan masyarakat suku Mbojo yang mendiami wilayah
pesisir atau dataran rendah. Kalau masyarakat suku Mbojo pegunungan dan
pedalaman berladang dengan berpindah-pindah, lain halnya dengan masyarakat suku
Mbojo yang ada pada wilayah pesisir dan dataran rendah, mereka lebih banyak
berkebun atau nelayan. Ini membuktikan bahwa, terjadi keragaman budaya meskipun
itu dalam satu suku.
Kebudayaan
merupakan identitas diri dan masyarakat. Seperti yang dikatakan Ralph Linton,[1] tidak ada masyarakat atau
perorangan yang tidak berkebudayaan. Dengan memiliki kebudayaan tersendiri,
manusia akan mudah dipahami oleh manusia lainnya. Hanya saja, untuk memahami
suatu kebudayaan manusia atau masyarakat lain, orang atau masyarakat yang ingin
memahami kebudayaan orang lain itu, memiliki kebudayaan juga. Konsep dasar
memahami budaya manusia atau masyarakat lain adalah dengan melihat budaya lain
itu dengan budaya mereka sendiri, bukan dari sudut pandang manusia atau
masyarakat yang melihat budaya lain itu. Dengan kata lain, untuk memahami
budaya manusia atau masyarakat lain, harus menanggalkan budaya sendiri. Dengan
demikian pemaknaan terhadap budaya lain itu akan holistik.
Dalam
suatu kebudayaan, tentu saja memiliki satu kesatuan sistem yang mengatur
keberadaan kebudayaan tersebut. Salah satu sistem itu adalah adanya pemimpin.
Pemimpin berperan mengatur tata laksana kebudayaan, selain itu, pemimpin juga
sebagai penerus tradisi kebudayaan. Max Weber[2] mengatakan, ada tiga tipe
pemimpin atau kepemimpinan yang berkembang dalam masyarakat, yakni tipe
karismatik, tradisional dan legal. Tipe karismatik, kepemimpinan ini dibangun
atas landasan keyakinan orang-orang akan kesakralan sang pemimpin yang tidak
boleh dipertanyakan. Tipe tradisional, tipe ini ketaatan dan kepatuhan para
pengikutnya didasari pada adat kebiasaan yang telah dijalankan dari generasi ke
generasi. Tipe legal, kepatuhan dan kesediaan kepada pemimpin lebih disebabkan
adanya aturan-aturan baku (perundang-undangan) yang disusun secara rasional
untuk mengatur ketundukan orang-orang yang dipimpin. Dalam konteks kebudayaan
yang didasari pada batasan teritorial seperti desa (kebudayaan lokal), tipekal
pemimpin yang ada adalah pemimpin karismatik dan tradisional. Hal ini
dikarenakan dalam proses penetapan pemimpin dilakukan berdasarkan pada
kesakralan seseorang dan nilai-nilai kebudayaan dalam masyarakat tersebut.
Seorang
pemimpin, dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur dan pelindung dalam
masyarakatnya, diperlukan strategi tertentu agar fungsinya tersebut bisa
berjalan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Salah satu strategi yang harus
dimiliki seorang pemimpin adalah pola interaksi. Dalam hal ini adalah pola
komunikasi yang baik, agar pesan yang disampaikan untuk mengatur dan melindungi
yang dipimpinnya bisa berjalan sesuai dengan yang seharusnya. Secara teoritis,
agar pesan yang dikomunikasikan bisa memiliki efek sesuai dengan yang diinginkan
oleh penyampai pesan (komunikator) dalam hal ini adalah pemimpin, diperlukan
strategi-strategi tertentu. Dalam pandangan ilmu komunikasi, terdapat istilah
unsur komunikasi untuk membedakan sebuah proses komunikasi. Harold Lasswell,[3] mendifinisikan terdapat
lima unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lainnya, yakni;
komunikator, pesan, media, komunikan, dan efek. Menurut Lasswel,[4] dengan mengetahui kelima
unsur komunikai tersebut, proses komunikasi akan lebih efektif dan bisa
berdampak sesuai yang diinginkan.
Selain
itu, efektif atau tidaknya pesan yang disampaikan seorang komunikator
dipengaruhi juga oleh bentuk komunikasi yang diterapkan oleh komunikator. Para
pakar komunikasi[5]
mengklasifikasi bentuk komunikasi kedalam 6 (enam) bagian, yakni; komunikasi
intrapribadi, antarpribadi, kelompok, publik, organisasi, dan komunikasi massa.
Komuniator yang baik, harus bisa membedakan pada bentuk komunikasi mana
komunikasi yang dilakukan itu berlangsung. Dengan mengatahui bentuk komunikasi,
maka komunikator akan bisa menyesuaikan apa yang harus disampaikan, dengan
bentuk komunikasi seperti itu, media apa yang tepat dan siapa yang menerima
pesan itu, serta efeknya seperti apa.
Bima
merupakan salah satu wilayah administratif tingkat kabupaten yang ada pada
provinsi Nusa Tenggara Barat. Teritorial Bima tidak saja didiami oleh
masyarakat suku asli Bima (suku Mbojo), tapi ada juga masyarakat yang berasal
dari berbagai suku dan etnis lain sepert suku Jawa, Sasak, Bugis, Timur, etnis
Arab dan Tionghoa. Sebagai sebuah suku, suku Mbojo tentu saja memiliki ciri dan
karakter kebudayaan tersendiri. Kalau dilihat dari 7 (tujuh) unsur pokok
kebudayaan yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat,[6] yakni sistem peralatan dan
perelengkapan hidup; sistem mata pencaharian hidup; sistem kemasyarakatan;
bahasa; kesenian; sistem pengetahuan; dan sistem religi. Maka, dalam suku Mbojo
pun ada ketujuh unsur budaya tersebut.
Masyarakat Bima merupakan tipe masyarakat yang sederhana
dan pekerja keras dalam rutinitasnya. Pada masa kerajaan, masyarakat Bima
sangat memegang teguh nilai-nilai agama Islam sebagai pedoman hidup mereka.
Karakteristik masyarakat Bima pada masa itu tergambar dalam puisi yang ditulis
N. Marewo[7] berikut ini;
Dana Mbojo[8] Dana Mbari[9]
Dana Mbojo
Tanah Keramat
Tiap inci
tanah keramat dijaga para penunggu
Harimau
yang menginjak Dana Mbari akan berubah menjadi domba
Dana Mbojo
tanah bertuah
Seluruh
penghuninya berdarah kesatria
Jagoan dan
kesatria di tanah keramat lugu-lugu dan sederhana
Kebaikan
dan kesederhanaan sering disalah tafsirkan
Tanah Bima
tanah tua
Orang-orang
yang berniat busuk pasti celaka
Di Dana
Mbari segala yang tersembunyi akan terkuak lewat isyarat air, angin dan api
Penipu,
penghianat, pecundang, pembohong dan koruptor pasti merana
Dana Mbojo
berselendang akhlak
Berkerudung
kebaikan
Seperti
wanita agung terlindung rimpu[10]
dan kain jilbab
Manusianya
menghargai keringat, senang bekerja keras dan rendah hati. Seperti para
lelakinya yang tak mudah menyerah
Dana Mbari
bernafaskan akhlak bernadi moral
Udara, air
dan apinya milik kebaikan, menolak kekotoran dan niat buruk. Darah kotor para
penjahat, arwah para penghianat tak diterima tanah ini
Dana Mbojo
Dana Mbari. Dana Mbojo Tanah Keramat
Dana Mbojo Tanah Tau, Dana mbojo Tanah Bertuah
Pada
masa kerajaan, daerah yang secara geografis berada pada 1180 44” -
1190 22” Bujur Timur dan 080 08” – 080 57”
Lintang Selatan itu, terkenal sebagai salah satu pusat perdagangan di wilayah
timur bagian selatan. Sebagai pusat perdagangan, tentu saja Bima dengan
sendirinya menjadi sentra interaksi berbagai kebudayaan, seperti kebudayaan
Bugis, Jawa, Timur dan bahkan kebudayaan bangsa asing, terutama Belanda.
Pembauran budaya yang ada, tentu saja menggeser nilai-nilai dasar kebudayaan
masyarakat Bima. Proses pembauran kebudayaan pada masa kerajaan itu, tidak
semua diterima oleh masyarakat Bima pada saat itu. Sehingga banyak masyarakat
Bima memilih meninggalkan daerah Bima yang didatangi berbagai suku tersebut,
dan membuat pemukiman tetap di daerah pegunungan bagian Barat dan Timur dari
pusat daerah Bima. Kemudian masyarakat yang mendiami pegunungan tersebut
disebut Dou Donggo (orang gunung). Yang pada akhirnya mereka
inilah yang dikatakan sebagai masyarakat asli suku Mbojo.
Secara
administrasi kependudukan, masyarakat Bima terbagi dalam dua kelompok
masyarakat, yakni Dou Donggo (orang asli suku Mbojo) dan Dou Mbojo
(orang Bima). Dou Donggo,[11]
merupakan
masyarakat suku Mbojo yang pada masa kerajaan mereka tidak mengalami pembauran
kebudayaan dengan masyarakat pendatang. Sedangkan Dou Mbojo (orang
Bima), merupakan masyarakat suku Mbojo yang telah mengalami pembauran dengan
budaya lain yang masuk di daerah Bima pada masa kerajaan dan sekarang mendiami
pusat daerah Bima. Masyarakat Donggo (Dou Donggo),
“menolak” adanya pembauran budaya dengan suku pendatang,
terutama para penjajah. Sebagai bentuk penolakannya, Dou Donggo memilih meninggalkan pusat daerah Bima, dan
lebih memilih tinggal di daerah pegunungan bagian Timur dan Barat dari pusat
daerah Bima. Dou Donggo yang mendiami pegunungan wilayah Barat daerah
Bima disebut dengan Dou Donggo Ipa (orang asli suku Mbojo seberang laut)
karena mereka mendiami pegunungan di sebelah barat teluk Bima. Sementara yang
mendiami pegunungan wilayah timur dan selatan daerah Bima disebut dengan Dou
Donggo Ele (orang asli suku Mbojo timur). Secara struktur kepemerintahan
mereka termasuk dalam Kecamatan Donggo untuk Dou Donggo Ipa dan untuk Dou
Donggo Ele, Kecamatan Lambitu dan Kecamatan Wawo.
Karakteristik
budaya Dou Donggo dengan masyarakat Bima sangat jauh berbeda. Dou
Donggo, masih memegang teguh nilai-nilai luhur budaya leluhur. Sementara
masyarakat Bima sudah mengalami asimilasi bahkan akulturasi dengan budaya
pendatang. Keteguhan Dou Donggo memegang teguh prinsip dasar budayanya,
tidak terlepas dari peran Ncuhi[12]
dalam mengajarkan ajaran luhur para leluhur secara turun temurun. Seperti,
dalam tatanan kehidupan, pertanian, peternakan dan tatanan sosial (hukum adat)
sebagai pedoman hidup Dou Donggo. Kalau dikaitkan dengan 7 (tujuh) unsur
pokok kebudayaan, maka peran Ncuhi adalah menjalankan ketujuh pokok
kebudayaan itu pada Dou Donggo.
Ncuhi merupakan manusia utama, penghulu masyarakat seasal (serumpun), yang
diharapkan pengayomannya, untuk diikuti arah condongnya. Ncuhi,
merupakan pemimpin masyarakat yang diangkat oleh anggota masyarakat dengan
jalan musyawarah. Ncuhi adalah tokoh masyarakat yang memiliki kekuatan
kharismatik tradisional. Ncuhi adalah pemimpin dan pelindung yang harus
ditaati dan merupaka pemimpin dunia akhirat. Bagi Dou Donggo seorang Ncuhi
adalah seorang pemimpin yang disegani dan harus dituruti setiap
perintahnya. Ketundukan Dou Donggo terhadap Ncuhi memposisikan Ncuhi
sebagai tokoh sentral sebuah perubahan. Setiap perkembangan daerah harus
melalui “restu” dari sang Ncuhi.
Kemajuan
teknologi informasi mempermudah Dou Donggo dalam meniru kondisi
masyarakat tertentu, yang bisa saja fenomena tersebut tidak sama dengan
nilai-nilai dasar budaya yang Dou Donggo anut sendiri. Proses adopsi
budaya seperti itu akan mengikis esensi dari budaya asli Dou Donggo,
sehingga nilai luhur budaya yang ada terkontaminasi dengan budaya yang Dou
Donggo simak lewat teknologi informasi. Kalau pada masa kerajaan, Dou
Donggo bisa menghindari proses pembauran budaya dengan meninggalkan daerah
yang sedang terjadi pembauran budaya, dan mengandalkan titah sang Ncuhi
untuk menangkal terjadinya adopsi budaya. Tapi, kini dengan kemajuan teknologi
yang bisa merangsek hingga pelosok nusantara (selama teknologi penerima ada),
tidak bisa dijamin peran Ncuhi masih bisa menangkal teror tekonologi
yang siap merongrong setiap mata dan telinga yang melihat dan mendengar
aktivitas masyarakat di luar Dou Donggo.
Perkembangan
Dou Donggo dewasa ini, tidak lagi Dou Donggo yang tradisional
atau udik, melainkan sudah mengikuti perkembangan masyarakat urban. Dengan
perkembangan Dou Donggo seperti itu, menjadi tugas berat bagi Ncuhi
untuk tetap mempertahankan nilai-nilai dasar dari budaya Dou Donggo.
“Bahaya” tidak lagi datang secara pergerombolan dengan bentuk fisik yang nyata
dan dalam waktu tertentu untuk berbaur dengan Dou Donggo, seperti yang
terjadi pada masa kerajaan, dan Dou
Donggo bisa menghindarinya dengan mengungsi ke daerah lain. Tapi, kini
proses pengerukan budaya lokal terjadi dengan menggunakan teknologi yang bisa
dimanfaatkan Dou Donggo kapan dan dimana saja tanpa melibatkan Ncuhi
sebagai penasehat.
Karena sebuah identitas, kebudayaan dou Donggo
perlu dipertahankan atau dilestarikan. Konteks pelestarian tersebut bisa berupa
betul-betul menjaga keaslian kebudayaan tersebut, atau berusaha menyesuaikan
(revitalisasi) agar bisa berdayaguna sesuai dengan perkembangan dou Donggo
sekarang ini. Banyak cara untuk melestarikan kebudayaan, salah satunya adalah
keterlibatan atau peran Ncuhi. Karena Ncuhi dalam kebudayaan dou
Donggo memiliki fungsi pengatur. Dalam mempertahankan nilai-nilai budaya
lokal, tentu saja Ncuhi harus mampu memberikan pemahaman yang holistik
kepada masyaraktnya tentang budayanya sendiri. Dalam rangka mengkomunikasikan
pesan-pesan budaya tersebut, Ncuhi memerlukan strategi berkomunikasi
yang baik, agar pesan yang disampaikan memiliki dampak yang luas dan menyeluruh
untuk perkembangan budaya masyarakat setempat. Dengan menggunakan pendekatan
penelitian kualitatif, peneliti meneliti bentuk komunikasi yang dilakukan Nchui
dalam rangka melestarikan budaya Dou Donggo.
[2] M. Mas’ud
Said. 2007. Birokrasi dinegara Birokratis. Malang: UMM Press. Hal 15-19
[3]
Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D. 2005. Cet 9. Edisi Revisi. Ilmu
Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal 69
[4] ibid.
[5] ibid.
hal 77
[6] Prof. DR.
Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian
Rakyat. hal. 7
[7] N. Marewo.
2004. Dana Mbojo Dana Mbari, Kumpulan Esai. Yokyakarta: Inter Budaya
Indonesia. Sastrawan Bima, lahir 2 Juli 1966. hal. 3-7
[8] Tanah Bima
[9] Tanah
Keramat
[10] Penutup
kepala dan muka bagi perempuan Bima-Sejenis jilbab.
[11] Untuk
tulisan masyarakat Donggo seterusnya, penulis menggunakan istilah Dou Donggo
dengan tulisan yang dimiringkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar